Tak ada yang tahu kapan kiamat akan terjadi. Namun kini, dunia telah memulai proses kepunahan massal, dan manusia bisa menjadi salah satu korban pertama dari proses kepunahan massal tersebut. Para ahli sepakat menyebutnya sebagai kepunahan massal keenam. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science Advances, terungkap bila spesies makhluk hidup di Bumi akan terus berkurang dalam jumlah yang mengerikan jika hal ini terjadi.
Studi yang dipimpin oleh ahli dari Stanford University, Princeton University, dan University of California, Berkeley, Amerika Serikat menyatakan, saat ini dunia sedang kehilangan beberapa spesiesnya dalam tingkat kecepatan yang sangat tinggi.
“Tanpa keraguan signifikan, kita saat ini sedang memasuki peristiwa besar, yaitu kepunahan massal keenam,” kata salah satu peneliti, Paul Ehrlich, seorang profesor Universitas Stanford biologi. Dalam 4,5 miliar tahun umur Bumi, sudah ada 5 kepunahan massal yang terjadi. Kepunahan massal terjadi 65 juta tahun silam, yang membawa kepunahan dinosaurus.
Rata-rata, Bumi mengalami dua kepunahan di antara 10.000 jenis mamalia (hewan melahirkan) per 100 tahun. Dari data yang berhasil dipelajari, tingkat kepunahan hewan bertulang belakang meningkat hingga 114 kali lipat dalam seratus tahun terakhir dibanding standar kepunahan ‘normal’ yang sudah dibuat ilmuwan. Untuk memulihkan kembali apa yang sudah terlanjur rusak, maka dibutuhkan jutaan tahun bagi alam untuk kembali pulih.
Dari hasil penelitian, maka sejak tahun 1900, lebih dari 400 vertebrata lebih dari yang diharapkan telah lenyap. Hewan yang hilang termasuk 69 mamalia, 80 burung, 24 reptil, 146 jenis amfibi, dan 158 jenis ikan, dan saat ini bayang-bayang kepunahan telah menyelimuti lebih dari 26 persen dari semua spesies mamalia dan 41 persen dari semua amfibi.
Jika laju kepunahan saat ini dibiarkan berlanjut, kehilangan spesies akan memiliki dampak yang signifikan (knock effect) terhadap populasi manusia dalam waktu tiga generasi. Tanaman yang diserbuki oleh serangga dan air yang termunikan lewat proses dalam ekosistem lahan basah adalah contoh dari manfaat keanekaragaman hayati yang akan hilang dalam tiga generasi manusia, demikian jelas para peneliti menyebutkannya.
“Jika dibiarkan terus, maka diperlukan jutaan tahun lagi untuk pulih, sementara spesies manusia mungkin sudah lenyap dari muka bumi,” jelas Dr Gerardo Ceballos pimpinan penelitian ini, sembari memperingatkan bahwa manusia suatu hari dapat mengikuti jejak dinosaurus untuk punah.
Menurut para peneliti, maka berbeda dengan kepunahan sebelumnya yang diistilahkan oleh para peneliti “melaju dengan tingkat percepatan yang tidak ada tandingannya dalam 65 juta tahun ini”, maka faktor utama penyebab dari kepunahan besar keenam, diluar faktor-faktor alam lain yang dapat terjadi seperti letusan gunung berapi dan tabrakan asteroid besar, adalah manusia.
Keberadaan manusia di muka bumi telah menyebabkan terjadinya efek pemanasan global dan pengasaman laut yang menyapu banyak spesies lain dari zona habitat mereka serta mendorong mereka ke dalam ambang kepunahan lebih lanjut.
Seperti dijelaskan oleh Vaclav Smil, peneliti dari University of Manitoba berdasarkan perhitungan massa, maka populasi manusia saat ini mencapai sepertiga dari vertebrata darat, dengan satwa (ternak) yang dimakan seperti sapi, babi, domba dan sejenisnya adalah sebagian dari dua pertiga yang lain. Semua jenis satwa liar, seperti gajah, jerapah, harimau dan sebagainya hanya tertinggal 5 persen dari massa.
Manusia mengubah hal dengan cara lain – mereka sekarang mengarahkan evolusi hewan yang bermanfaat untuk mereka, dengan pemuliaan dan dengan rekayasa genetika. Di sisi lain, energi yang tersimpan seperti hidrokarbon dan mineral terus dieksploitasi besar-besaran untuk mendukung keberadaan manusia.
Para peneliti dalam studi ini memberikan rekomendasi dan menyerukan masyarakat dunia untuk segera memulai kegiatan untuk mengupayakan pelestarian spesies yang terancam punah dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Termasuk mengurangi tekanan pada populasi (over eksploitasi) untuk keuntungan ekonomi.
Di akhir pernyataannya, para peneliti mengatakan masih mungkin untuk mencegah “kerusakan yang dramatis dari bumi” melalui konservasi intensif, tapi waktu tampaknya sudah hampir habis dan tidak bisa lagi diajak kompromi.