Para ilmuwan telah mengindentifikasi fosil dari seekor burung raksasa yang telah punah, yang mungkin menjadi burung terbang terbesar yang pernah ditemukan. Dengan perkiraan lebar sayap 6,7 – 8 meter, makhluk itu lebih besar dari burung yang telah lama punah bernama Argentavis magnificens berdasarkan analisa tulang sayapnya. Rentang sayap itu dua kali lebih besar dari Royal Albatross, burung terbang terbesar saat ini. Penemuan yang dipublikasikan pada Prosiding jurnal National Academy of Sciences pada 7 Juli 2014, menunjukkan bahwa makhluk itu adalah glider yang sangat efisien, dengan sayap panjang dan ramping yang membantunya tetap terbang tinggi meskipun ukurannya sangat besar.
Fosil tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 1983 di dekat Charleston, Carolina Selatan, Amerika Serikat, ketika para pekerja konstruksi memulai penggalian untuk terminal baru di Bandara Internasional Charleston. Spesimen itu begitu besar mereka harus digali menggunakan alat berat. “Tulang sayap bagian atas saja sudah lebih lama dari lengan saya,” kata penulis Dan Ksepka dari the National Evolutionary Synthesis Center di Durham, North Carolina dalam siaran pers yang dikutip dari laman eurekalert.org.
Spesimen burung yang terawat baik itu terdiri dari beberapa sayap dan kaki tulang dan tengkorak lengkap dan menjadi koleksi paling menonjol di Museum Charleston. Bentuk paruh dan ukurannya yang tipis membuat Ksepka mengidentifikasi temuan sebagai spesies pelagornithid yang sebelumnya tidak diketahui. Pelagornithid merupakan kelompok burung laut raksasa yang telah punah, yang dikenal dengan paku gigi yaitu tulang yang berjajar pada rahang atas dan bawah. Spesimen burung itu kemudian dinamakan Pelagornis sandersi untuk menghormati pensiunan kurator Musem Charleston, Albert Sanders, yang memimpin penggalian fosil burung yang hidup antara 25 -28 juta tahun yang lalu, jauh sebelum manusia pertama tiba di daerah tersebut.
Para peneliti tidak ragu bahwa Pelagornis sandersi mampu terbang. Dengan lapisan tulang berongga, kaki kekar dan sayap raksasa membuatnya seperti berumah di udara tetapi terlihat canggung di darat. Meski melebihi beberapa permodelan matematis tentang ukuran tubuh maksimum untuk burung yang bisa terbang, burung itu meninggalkan beberapa pertanyaan seperti bagaimana dia berhasil lepas landas dan tetap terbang tinggi meskipun ukurannya sangat besar.
Gambar rekaan dari spesies fosil Pelagornis sandersi, dengan tulang fragmen yang ditemukan pekerja ditunjukkan dengan warna putih.
Untuk mengetahui, Ksepka memasukkan data fosil ke dalam program komputer yang dirancang untuk memprediksi kinerja penerbangan, seperti berbagai perkiraan massa, bentuk sayap dan rentang sayap. Hasil analisis menunjukkan P. sandersi mungkin terlalu besar untuk lepas landas hanya dengan mengepakkan sayapnya dan terbang ke udara dari tempatnya berdiri. Seperti Argentavis, yang penerbangan digambarkan dari hasil simulasi komputer pada tahun 2007, P. sandersi mungkin terbang dengan menuruni bukit ke dalam aliran udara atau dengan memanfaatkan aliran udara untuk terbang tinggi, seperti prinsip terbang layang.
Setelah di udara, simulasi Ksepka itu menunjukkan bahwa panjang dan rampingnya sayap burung membuatnya menjadi salah satu glider sangat efisien. Dengan memanfaatkan arus udara, dia bisa terbang tinggi di permukaan laut. P. sandersi mampu melayang beberapa mil di atas laut tanpa mengepakkan sayapnya. Dia kadang-kadang menukik ke air untuk memakan mangsa bertubuh lunak seperti cumi-cumi dan belut.
“Hal itu penting di laut, di mana makanan tidak merata tersedia,” kata Ksepka, yang merupakan kurator sains di Bruce Museum di Greenwich Connecticut.
Para peneliti berharap temuan ini akan membantu menjelaskan mengapa keluarga burung P. sandersi akhirnya mati, dan menambah pemahaman tentang bagaimana raksasa dari langit berhasil terbang.