Dua orang laki-laki paruh baya nampak duduk di buritan perahu yang membawa mereka keluar dari dermaga Tanjung Luar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di atas air laut yang bergelombang, keduanya nampak sibuk menyiapkan jaring yang akan digunakan untuk alat tangkap mereka mencari ikan. Seperti biasa, saat itu, nelayan yang ada di kapal tersebut akan mencari ikan yang memiliki nilai jual sangat tinggi: hiu.
Perburuan tersebut, sudah menjadi kegiatan umum dan rutin bagi nelayan di sekitar Tanjung Luar. Tak heran, ikan yang dikenal ganas tersebut, banyak diperjualbelikan di dermaga perikanan yang ada di Tanjung Luar. Salah satunya, ditujukan untuk pasar internasional, terutama di negara Asia Timur seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Hong Kong.
Perburuan hiu oleh nelayan dari Tanjung Luar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Aktivitas tersebut terekam jelas dan diabadikan dalam sebuah flm dokumenter berjudul “Ocean and Us” yang diproduksi Indonesia Nature Film Society (Infis). Film yang disutradarai Wahyu Mulyono itu, bercerita tentang kegiatan nelayan di Tanjung Luar dalam melaksanakan mata pencahariannya setiap hari. Dalam film, diceritakan bahwa nelayan di sana sebagian besar memilih untuk menangkap ikan hiu sebagai tangkapan utamanya.
Gambaran tersebut dipertegas melalui adegan para nelayan yang menangkap hiu di lautan dengan berbagai cara. Ada yang menangkap secara utuh dan hidup, ada juga yang menangkap siripnya saja dan kemudian melepaskan hiunya ke lautan lagi, dan ada juga yang menangkap dengan cara membunuhnya lebih dulu.
Hiu ditangkap nelayan untuk diambil sirip nya dan dijual di dermaga Tanjung Luar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat
Fakta-fakta seperti itu, menjadi gambaran bahwa hingga saat ini, di Indonesia masih banyak daerah-daerah yang melakukan perburuan terhadap biota-biota laut yang populasinya terus menurun. Diyakini, perburuan terhadap hiu tidak hanya dilakukan nelayan di Tanjung Luar saja, tapi juga di daerah lain di Indonesia.
Keyakinan tersebut diakui Fisheries Program Manager Wildlife Conservation Society(WCS) Irfan Yulianto yang turut hadir dalam pemutaran film “Ocean and Us”, Minggu (29/5/2016) malam. Menurut dia, Dibutuhkan kesadaran semua pihak jika ingin menjaga biota laut seperti hiu untuk tetap ada dengan populasi yang terus meningkat.
“Walau kami memiliki program untuk penyelamatan hiu, namun kami sadar bahwa itu tidak bisa menyentuh hingga ke seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Tugas kita semua untuk bisa melakukan itu,” tutur dia.
Irfan mengungkap, berdasarkan penelitian selama dua tahun yang dilakukan WCS di Pelabuhan Tanjung Luar, diketahui bahwa ikan hiu yang didaratkan setiap bulannya mencapai 50 ton. Dengan angka tersebut, sudah cukup menasbihkan Tanjung Luar menjadi pemasok utama produksi hiu di Indonesia.
Deretan hiu yang ditangkap nelayan untuk diambil siripnya dan dijual di dermaga Tanjung Luar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Selain pemasok utama, Irfan menyebutkan, hiu-hiu yang didaratkan di Tanjung Luar, statusnya dalam IUCN (International Union for the Conservation of Nature) masuk kategori Red List dan masuk dalam kategori near threatened atau hampir punah. Tak tanggung-tanggung, untuk hiu yang hampir terancam punah, ada 70,1 persen dari total produksi per bulan di Tanjung Luar.
“Bahkan, ada yang berstatus terancam punah dan jumlahnya mencapai 9,4 persen. Adapun, spesies yang ditangkap adalah Carcharhinus limbatus (blacktip shark),Carcharhinus falciformis (silky shark) and Sphyrna lewini (scalloped hammer head),” papar dia.
Regulasi Tidak Ada
Sementara itu, meski Indonesia saat ini menjadi negara pemasok ikan hiu terbesar di dunia untuk pasar internasional, namun kenyataannya masih belum ada regulasi yang jelas dan mengikat untuk menyelamatkan spesies dan populasi hiu.
Menurut Juru Kampanye Laut Greenpace Indonesia Sumardi Ariansyah, saat ini ada dua titik lemah perikanan hiu di Indonesia, yaitu tidak komprehensif pendekatan konservasi oleh Pemerintah, dan juga masih lemahnya langkah pengendalian tata niaga hiu.
“Akibat dua hal tersebut, ditambah juga dengan minimnya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum, gambaran di lapangan dengan mudah memperlihatkan semua jenis hiu bisa saja tertangkap ataupun sengaja menjadi target tangkapan,” tegasnya.
Hiu di di perairan Tanjung Luar Lombok NTB yang rentan ditangkap oleh nelayan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut Ariansyah merekomendasikan lima langkah perlindungan hiu, yaitu segera melakukan penghentian ekspor dan impor sirip hiu, daging hiu dan bagian tubuh hiu lainnya, dan segera mempromosikan pendekatan perlindungan habitat penting bagi hiu dalam skala luas.
“Langkah lainnya adalah segera melakuan penelitian prioritas bagi jenis-jenis hiu dan pari yang berstatus sangat terancam punah (CR), terancam punah (EN) dan rentan punah (VU) namun belum ditetapkan sebagai jenis yang dilindungi ataupun belum diatur dalam kebijakan khusus,” ucap dia.
Selain itu, Ariansyah mengatakan, harus segera membangun sistem informasi ketelusuran produk yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung, serta segera menetapkan pengesahan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Tuna, Cakalang dan Tongkol (2015-2019), Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari (2015-2019).
Jadi, jika ingin hiu masih ada di lautan Indonesia, kita semua harus terlibat aktif untuk mengkampanyekannya. Tidak hanya Pemerintah dan NGO, tapi juga kita semua, masyarakat Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga hiu?