-->

Keris dan Legitimasi Kuasa Keraton Yogyakarta



Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono X memuat 5 poin utama yang meliputi; Perubahan gelar Khalifatullah, gelar Buwono menjadi Bawono, penyebutan sedasa menjadi sepuluh, akan mengubah perjanjian antara pendiri Mataram, Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan dan menyempurnakan dua pusaka utama Keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. Sabda Raja tersebut lantas menimbulkan pro dan kontra baik di dalam maupun luar keraton. Setelah melihat perkembangan yang ada di lapangan, Sultan lantas memberikan penjelasan mengenai Sabda Raja tersebut yang justru hanya memuat tiga poin saja, perubahan gelar Khalifatullah menjadi Panotogomo, perubahan gelar Buwono menjadi Bawono dan penyebutan kaping sedasa menjadi kasepuluh.
Meskipun Sultan telah mengkoreksi isi dari Sabda Raja yang sudah terlanjur beredar luas di masyarakat tersebut, ada poin dari Sabda Raja tersebut yang menarik perhatian penulis, bahwa Sultan belum menjelaskan posisi dua pusaka utama keraton berupa keris yaitu Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. Kedua pusaka berbentuk keris (curiga) tersebut merupakan dua dari beberapa pusaka utama keraton yang mempunyai nilai penting dalam legitimasi kekuasaan dan proses suksesi kekuasaan di Keraton Yogyakarta.

Pusaka Penentu Sejarah
Kanjeng Kyai Ageng Kopèk dan Kanjeng Kyai Joko Piturun adalah keris utama di Keraton Yogyakarta, yang hanya boleh dikenakan Sultan. Penyematan gelar Kanjeng Kyai Ageng sendiri diberikan pada pusaka yang secara gaib dianggap paling kuat kekuatannya. Keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek diyakini dibuat pada masa Kesultanan Demak dan pernah dimiliki oleh Sunan Kalijaga, yang kemudian diturunkan kepada raja-raja mataram selanjutnya. Keris berdhapur Jalak Sangu Tumpeng ini menempati peran historis yang besar karena sebagai simbol pembagian wilayah Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, dari Pakubuwono III kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan pertama Keraton Yogyakarta, Hamengku Buwono I. Keris tersebut diberikan langsung oleh Sunan Pakubuwono III kepada Pangeran Mangkubumi setelah perjanjian Giyanti di Jatisari (1755) yang disaksikan oleh Gubernur VOC kala itu, Nicholaas Hartingh.
Sedangkan keris Kanjeng Kyai Joko Piturun lebih dikenal sebagai salah satu alat legitimasi bagi pengganti Sultan yang bertahta di Keraton Yogyakarta. Berdasarkan Babad Ngayogyakarta, Keris Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun ditemukan oleh Pangeran Mangkubumi pada saat pengungsiannya di wilayah Gunung Sindoro. Suatu malam beliau melihat sinar yang keluar dari bawah tumpukan bulu burung. Setelah Pangeran Mangkubumi melakukan semadi, di bawah tumpukan bulu burung tersebut ternyata ada sebilah keris berdhapur Jalak Dinding yang kemudian diambil dan diberi nama Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. Bersama dengan Kanjeng Kyai Ageng Kopek, Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun merupakan cikal bakal sejarah dan legitimasi kekuasaan atas lahirnya Keraton Yogyakarta. Saat ini, kedua keris pusaka yang berbentuk lurus tersebut beserta dengan pusaka utama yang lain disimpan dalam tempat khusus, yaitu di nDalem Ageng Prabayeksa.

Simbol Legitimasi atas Kekuasaan
Tidak hanya berwujud keris, pusaka yang ada di Keraton Yogyakarta terdiri atas berbagai jenis seperti mahkota, sumping, batu akik, tombak, wedhung, beragam simbol kerajaan, naskah kuno, catatan sejarah, wayang kulit, gamelan, kereta kuda, guci, panji dan perkakas untuk memasak (Hamengku Buwana X, 2002). Keris sebagai pusaka menempati peranan penting dalam sejarah Mataram Islam di Jawa. Keris telah menjadi simbol dan alat legitimasi kekuasaan yang wajib hadir dalam setiap suksesi kekuasaan. Penyempurnaan dua keris yaitu Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun bisa dimaknai dalam tiga kemungkinan. Pertama, dalam dunia spiritual jawa, makna sempurna seringkali digunakan untuk mengkiaskan kata menyudahi. Dalam kosmologi jawa, setiap insan adalah wayang yang hidup untuk menjalani laku dalam upayanya mencari kesempurnaan hidup. Setelah kesempurnaan itu dicapai, maka tugasnya di dunia ini dianggap telah selesai dan dia akan dipanggil kembali kepada Pencipta. Pemaknaan sederhana yang dapat ditangkap adalah, Sultan ingin menyudahi peranan kedua pusaka tersebut dalam dinamika yang ada di keraton Yogyakarta.
Kemungkinan yang kedua adalah menggabungkan kedua pusaka tersebut menjadi satu keris baru. Usaha menggabungkan (melebur) dua atau lebih keris menjadi satu keris sebelumnya pernah dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang melebur tiga keris pusakanya menjadi sebilah keris yang diberi gelar Kanjeng Kyai Ageng Bondoyuda. Keris tersebut menjadi pusaka utama dari beberapa pusaka Pangeran Diponegoro yang digunakan dalam Perang Jawa (1825-1830). Selanjutnya, kemungkinan ketiga adalah membuat keris dengan bentuk baru tanpa merubah keris yang ada. Pertimbangan yang paling memungkinkan adalah bahwa kedua keris tersebut dianggap belum sempurna sehingga dibutuhkan keris baru yang dianggap mampu melengkapi kekurangan dari kedua keris tersebut.

Mencari Alternatif Baru
Berpijak dari banyak wacana yang beredar bahwa putri Sultan, GKR Mangkubumi akan dipersiapkan sebagai putri mahkota, maka perlu dicari alternatif agar keris tetap digunakan sebagai salah satu alat legitimasi kekuasaan. Meskipun keris identik dengan pusaka laki-laki, namun sejarah membuktikan, bahwa keris juga dibuat dan diperuntukkan bagi wanita yang disebut dengan Keris Patrem. Berbeda dengan keris normal yang diperuntukkan bagi laki-laki, keris patrem dari segi fisik bilahnya lebih kecil dan pendek berkisar antara 5-30 cm. Baik keris patrem maupun jenis keris yang lain mempunyai fungsi yang sama, sebagai pusaka pribadi dan senjata untuk melindungi diri bila diperlukan.
Sehingga sangat dimungkinkan juga apabila Sultan berkenan, bisa mengambil alternatif ini dengan membuat keris patrem bagi putrinya sebagai salah satu alat legitimasi kekuasaan keraton. Berpijak pada jaman yang sudah berubah, bukan mustahil paugeran juga diubah untuk mengikuti jaman. Begitu juga dengan keris yang selalu berkembang, nunggak semi, mengikuti perkembangan jaman tanpa meninggalkan tradisi dan budaya yang sudah ada. Tata aturan untuk pembuatan hingga pemakaian pusaka pun bisa diubah karena merupakan wilayah prerogratif Sultan sebagai raja. Upaya ini meskipun akan memunculkan pro dan kontra, namun akan meminimalisir gejolak yang ada. Selain itu, juga akan menjawab pertanyaan publik mengenai kelanjutan tradisi penyerahan keris sebagai alat suksesi kekuasaan yang ternyata tidak hanya monopoli laki-laki semata.

Sebaik-baiknya Manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Disqus Comments